Kajian mengenai partai politik (parpol) merupakan salah
aspek penting di dalam ilmu hukum tatanegara. Bila kita berbicara mengenai
parpol, berarti kita akan membicarakan mengenai partisipasi rakyat dalam dua
hal, yaitu pertama : partisipasi rakyat dalam menentukan arah kebijakan
negara; kedua : partisipasi rakyat dalam membuat peraturan-peraturan
perundang-undangan.[1] Oleh karena itu, kajian mengenai
parpol akan terkait dengan studi mengenai pemilihan umum (pemilu) dan konsep
negara hukum.
Prof. Abdul Bari Azed berpandangan bahwa konsep negara hukum merupakan
pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM) yang harus dilindungi, dan HAM yang
paling penting adalah keiuktsertaan atau partisipasi rakyat dalam membuat
peraturan-peraturan perundang-undangan yang akan mengatur kehidupannya.[2] Dan partisipasi rakyat untuk
menyalurkan kepentingannya dengan ikut serta mengambil bagian dalam pembuatan
kebijakan, dan dalam bentuk yang sederhana adalah dengan mengikuti pemilu, atau
ikut menjadi anggota parpol, mendirikan parpol, atau mengakomodasi
kepentingannya dalam kehidupan bernegara.
Kendati menurut teori ilmu hukum tata negara parpol merupakan suatu kajian yang
penting, tetapi di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Asli tidak
menyebut (mengatur) secara eksplisit dan jelas mengenai parpol. Di dalam
Penjelasan UUD 1945 (Asli) menyatakan bahwa negara Republik Indonesia adalah
negara hukum dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Dengan
demikian pentingnya peranan parpol di dalam paradigma UUD 1945 (Asli) hanya
dapat disimpulkan dari analisa teori-teori hukum tata negara mengenai
hubungannya antara negara hukum, kedaulatan rakyat, demokrasi, dan hak asasi
manusia (HAM).
Lain hal dengan UUD 1945 yang sudah dirubah (Amandemen Kedua) yang menyebut
secara eksplisit mengenai parpol. Di dalam Pasal 6 A UUD 1945 (Amandemen Kedua)
yang menyatakan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum.
Maraknya beridirinya partai-partai baru setelah berhentinya Presiden Soeharto
pada tanggal 21 Mei 1998 adalah bersamaan dengan adanya perubahan politik yang
besar pada saat itu.
Gerakan mahasiswa Indonesia pada tahun 1998 (Gerakan 1998) akan ditulis tinta
emas di dalam sejarah Republik Indonesia. Sekurang-kurangnya ada dua
keberhasilan yang sangat fundamental dari Gerakan 1998, yaitu : pertama,
berhasil memaksa Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun untuk
berhenti, hingga pemerintahan otoriter Orde Baru menjadi; dan kedua,
mendorong lahirnya Gerakan Reformasi di segala bidang.[3]Pengamat politik dari Polcomm Institute,
Heri Budianto, mengatakan, putusan Mahkamah Partai Golkar berpotensi
menimbulkan beragam dampak pada kesolidan internal, perubahan arah politik,
kehilangan kader, hingga lahirnya partai baru.
"Putusan Mahkamah Partai Golkar seharusnya dapat menyelesaikan kemelut dualisme kepengurusan di tubuh Golkar, sekaligus diharapkan menjadi jalan tengah agar tidak pecah. Dengan putusan yang memenangkan kubu Ancol, menurut saya akan ada beberapa dampak yang dialami Partai Golkar," kata Heri, melalui pesan singkat di Jakart.
Heri menyebutkan, dampak pertama, kubu Aburizal mungkin tidak akan menerima keputusan tersebut dan meneruskan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung. Jika langkah ini dilakukan, menurut dia, hal itu akan membawa implikasi politik bagi Golkar.
"Golkar tidak serta-merta dapat mengikuti agenda politik dalam waktu dekat, misalnya pilkada, karena berlarut-larutnya persoalan internal partai," ujarnya.
Kedua, lanjut Heri, Golkar mungkin terancam mengalami perpecahan yang lebih parah. Menurut Heri, kader-kader Golkar, khususnya di daerah yang akan maju pilkada, pindah ke partai lain sehingga Golkar akan kehilangan banyak kekuatan politik lokal.
Ketiga, putusan Mahkamah Partai Golkar bisa saja menjadi stimulus munculnya partai politik baru. Meski putusan Mahkamah Partai Golkar tidak membolehkan hal tersebut, menurut Heri, bagi pihak yang kalah, selalu ada cara untuk melampiaskan kekalahan dan mencari jalan untuk tetap eksis dalam politik.
"Artinya, putusan Mahkamah Partai Golkar yang menyatakan yang menang harus mengakomodasi yang kalah bisa menjadi sia-sia," kata dia.
Keempat, dengan putusan ini, menurut Heri, keberadaan KMP terancam bubar karena Golkar selaku partai penopang utama melepaskan diri.
"Tentu gerilya politik berikutnya kubu Ancol adalah merapat ke pemerintah, dan akan ada upaya melakukan strategi untuk mendekati presiden-wapres agar kader mereka diakomodasi masuk kabinet, jika ada reshuffle Kabinet Kerja," kata Heri.
Kelima, upaya untuk menyatukan dualisme kepengurusan dengan putusan memenangkan satu kubu dinilai Heri bukan perkara mudah.
"Partai yang dilahirkan dari awal Orba ini di ambang lilitan konflik panjang dan ini sejarah pertama konflik yang mengancam keberadaan Golkar sebagai partai besar di negeri ini," ujarnya.
Sebelumnya, empat hakim Mahkamah Partai Golkar mengeluarkan putusan berbeda terkait dualisme kepengurusan partai beringin. Dua hakim, yakni Djasri Marin dan Andi Mattalatta, memutuskan mengesahkan kepengurusan Golkar pimpinan Agung Laksono. Sementara itu, dua hakim lain, yakni Muladi dan HAS Natabaya, hanya memberikan putusan rekomendasi terkait proses kasasi yang ditempuh kubu Aburizal Bakrie di Mahkamah Agung.
Kubu Agung Laksono menilai, putusan Mahkamah Partai Golkar telah mengesahkan kepengurusannya. Sementara itu, kubu Aburizal Bakrie menilai, Mahkamah Partai Golkar mempersilakan proses hukum di MA dan pengadilan diteruskan.
"Putusan Mahkamah Partai Golkar seharusnya dapat menyelesaikan kemelut dualisme kepengurusan di tubuh Golkar, sekaligus diharapkan menjadi jalan tengah agar tidak pecah. Dengan putusan yang memenangkan kubu Ancol, menurut saya akan ada beberapa dampak yang dialami Partai Golkar," kata Heri, melalui pesan singkat di Jakart.
Heri menyebutkan, dampak pertama, kubu Aburizal mungkin tidak akan menerima keputusan tersebut dan meneruskan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung. Jika langkah ini dilakukan, menurut dia, hal itu akan membawa implikasi politik bagi Golkar.
"Golkar tidak serta-merta dapat mengikuti agenda politik dalam waktu dekat, misalnya pilkada, karena berlarut-larutnya persoalan internal partai," ujarnya.
Kedua, lanjut Heri, Golkar mungkin terancam mengalami perpecahan yang lebih parah. Menurut Heri, kader-kader Golkar, khususnya di daerah yang akan maju pilkada, pindah ke partai lain sehingga Golkar akan kehilangan banyak kekuatan politik lokal.
Ketiga, putusan Mahkamah Partai Golkar bisa saja menjadi stimulus munculnya partai politik baru. Meski putusan Mahkamah Partai Golkar tidak membolehkan hal tersebut, menurut Heri, bagi pihak yang kalah, selalu ada cara untuk melampiaskan kekalahan dan mencari jalan untuk tetap eksis dalam politik.
"Artinya, putusan Mahkamah Partai Golkar yang menyatakan yang menang harus mengakomodasi yang kalah bisa menjadi sia-sia," kata dia.
Keempat, dengan putusan ini, menurut Heri, keberadaan KMP terancam bubar karena Golkar selaku partai penopang utama melepaskan diri.
"Tentu gerilya politik berikutnya kubu Ancol adalah merapat ke pemerintah, dan akan ada upaya melakukan strategi untuk mendekati presiden-wapres agar kader mereka diakomodasi masuk kabinet, jika ada reshuffle Kabinet Kerja," kata Heri.
Kelima, upaya untuk menyatukan dualisme kepengurusan dengan putusan memenangkan satu kubu dinilai Heri bukan perkara mudah.
"Partai yang dilahirkan dari awal Orba ini di ambang lilitan konflik panjang dan ini sejarah pertama konflik yang mengancam keberadaan Golkar sebagai partai besar di negeri ini," ujarnya.
Sebelumnya, empat hakim Mahkamah Partai Golkar mengeluarkan putusan berbeda terkait dualisme kepengurusan partai beringin. Dua hakim, yakni Djasri Marin dan Andi Mattalatta, memutuskan mengesahkan kepengurusan Golkar pimpinan Agung Laksono. Sementara itu, dua hakim lain, yakni Muladi dan HAS Natabaya, hanya memberikan putusan rekomendasi terkait proses kasasi yang ditempuh kubu Aburizal Bakrie di Mahkamah Agung.
Kubu Agung Laksono menilai, putusan Mahkamah Partai Golkar telah mengesahkan kepengurusannya. Sementara itu, kubu Aburizal Bakrie menilai, Mahkamah Partai Golkar mempersilakan proses hukum di MA dan pengadilan diteruskan.
. TEORI-TEORI PARTAI POLITIK
Roy C. Macridis berpendapat bahwa partai politik (parpol) merupakan keharusan dalam kehidupan politik moderen yang demokratis, pengecualiannya hanya pada masyarakat tradisional yang sistem politiknya otoritarian yang pemerintahannya bertumpu pada tentara atau polisi. Sebagai organisasi, parpol secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah (legitimate) dan damai. Menurut Roy C. Macridis, parpol merupakan suatu asosiasi yang mengaktifkan, memobilisasi rakyat, dan mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat-pendapat yang bersaing, dan memunculkan kepemimpinan politik. Oleh karena itu, parpol menjadi fenomena umum dalam kehidupan politik di dalam masyarakat moderen. Parpol adalah alat untuk memperoleh kekuasaan dan untuk memerintah. Parpol telah digunakan untuk mempertahankan pengelompokan yang sudah mapan (seperti gereja) atau untuk menghancurkan status quo seperti yang dilakukan Bolsheviks pada tahun 1917 ketika menumbangkan kekaisaran Tsar.
Sementara itu Miriam Budiardjo berpendapat bahwa Partai politik menurut adalah
suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai
dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusionil –
untuk melaksanakan kebijsaksanaan-kebijaksanaan mereka.
Partai politik menurut Carl J. Fiederich adalah sekelompok manusia yang
terorganisiir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan
terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini
memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun
materiil.
Partai politik menurut Soltau adalah sekelompok warga negara yang sedikit
banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang –
dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih – bertujuan menguasai
pemerintahan dan melaksanakan kebijakanaan umum
mereka.
Partai politik menurut Sigmund Neumann adalah
organisasi aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan
pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu
golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
Partai politik menurut Ichlasul Amal adalah suatu kelompok yang mengajukan
calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat
mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan
pemerintah
Partai politik menurut Mark N. Hagopian adalah suatu organisasi
yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam
kerangka prinsip-prinsip kepentingan ideologis tertentu melalui praktek
kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat ddalam
pemilihan.
Berdasarkan batasan-batasan mengenai parpol seperti tersebut di atas, maka dapat
dikatakan bahwa :
1.
Dasar sosiologis dari suatu parpol adalah ideologi.
2.
Kepentingan dari dibentuknya suatu parpol adalah usaha-usaha untuk
memperoleh kekuasaan
Sistem Politik Indonesia
Untuk memahami lebih jauh tentang
mekanisme pembentukan hukum di Indonesia, perlu dipahami sistem politik yang
dianut. Sistem politik mencerminkan bagaimana kekuasaan negara dijalankan oleh
lembaga-lembaga negara dan bagaimana meknaisme pengisian jabatan dalam
lembaga-lembaga negara itu dilakukan. Inilah dua hal penting dalam mengenai
sistem politik yang terkait dengan pembentukan hukum.
Beberapa prinsip penting dalam
sistem politik Indonesia yang terkait dengan uraian ini adalah sistem yang
berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional serta prinsip
demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling mendukung, kehilangan
salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya sistem politik ideal yang
dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu pemisahan
kekuasaan –check and balances – prinsip due process
of law, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan jaminan serta
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip konstitusional
mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan negara bergerak
hanya dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang diberikan
konstitusi.
Dengan prinsip demokrasi
partisipasi publik/rakyat berjalan dengan baik dalam segala bidang, baik pada
proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur politik, maupun dalam proses
penentuan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh berbagai struktur politik itu.
Karena itu demokrasi juga membutuhkan transparansi (keterbukaan informasi),
jaminan kebebasan dan hak-hak sipil, saling menghormati dan menghargai serta
ketaatan atas aturan dan mekanisme yang disepakati bersama.
Dengan sistem politik yang demikianlah
berbagai produk politik yang berupa kebijakan politik dan peraturan
perundang-undangan dilahirkan. Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah
produk politik sebagai sumber hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan
mengikatnya hukum diharapkan – sebagaimana yang dianut aliran positivis –
mengakomodir segala kepentingan dari berbagai lapirsan masyarakat, nilai-nilai
moral dan etik yang diterima umum oleh masyarakat. Sehingga apa yang dimaksud
dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan
oleh institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan
etik dianggap telah termuat dalam perundang-undangan itu karena telah melalui
proses partisipasi rakyat dan pemahaman atas suara rakyat. Dalam hal produk itu
dianggap melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihirmati
oleh masyarakat dan merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka
rakyat dapat menggugat negara (institusi) tersebut untuk mebatalkan peraturan
yang telah dikeluarkannya dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai
moral dan etik, kepentingan-kentingan rakyat yang ada dalam kenyataan-kenyataan
sosial tetap menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui mengontrol dan
melahirkan hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan
pembentukan perundangan-undangan yang baru.
.
Kesimpulan
- Memahami hukum Indonesia harus dilihat
dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang
pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai
sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak
diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan
berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu
hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus
mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan.
Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam
kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk
terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baru.
- Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum
adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya
religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual), sebagai hukum asli
Indonesia semakin tergeser digantikan oleh paham positivis. Menurut
Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada penegakan hukum serta kekecewaan
pada aturan hukum sebagian besarnya diakibatkan oleh situasi bergesernya
pemahaman terhadap hukum tersebut serta proses pembentukan hukum dan
putusan-putusan hukum yang tidak demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar