Kamis, 21 Mei 2015

Pentingnya pendidikan demokrasi bagi terlaksana nya nilai-nilai demokrasi

PENTINGNYA PENDIDIKAN DEMOKRASI DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT SIPIL (Civil Society)

   Kehidupan demokrasi di Indonesia belum seperti yang diharapkan, banyak timbul persoalan-persoalan yang menyangkut pelanggaran HAM, nilai egalitarian belum tersosialisasikan, kebenaran diputar balikkan dan terjadi mafia peradilan. Kondisi bangsa semakin terpuruk, pejabat mementingkan dirinya sendiri, timbul kelompok-kelompok partisan yang sulit dikontrol pemerintah dan reformasi tidak memberi perubahan yang signifikan untuk kemakmuran rakyat, segala hal carut-marut yang bersumber dalam kehidupan yang tidak demokratis. Dalam kondisi di atas sangat diperlukan pendidikan demokrasi yang diharapkan dapat memberikan solusi pemecahan segala persoalan berbangsa dan bernegara sekaligus memberi pencerahan dengan adanya partisipasi masyarakat secacara nyata.

Secara esensial pendidikan demokrasi adalah untuk melahirkan "budaya demokrasi baru " dalam kerangka untuk mewujudkan tatanan demokrasi yang ideal. Demokrasi tidak sekedar dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat atau keterlibatan langsung rakyat dalam mengambil keputusan politik, namun lebih dari itu. Demokrasi di dalamnya menyangkut kondisi yang kondusif untuk mensosialisasikan pendidikan nilainilai yang menjadi harapan dan dambaan. Oleh karena itu demokrasi tidak hanya merujuk pada kondisi realitas tatanan atau sistem yang sudah ada, pendidikan demokrasi harus mampu melakukan inovasi-inovasi yang baru untuk kemajuan demokrasi. Pendidikan demokrasi dalam arti lebih spesifik dapat diartikan sebagai usaha secara sadar untuk mengubah proses sosialisasi demokrasi dalam masyarakat sehingga mereka betul-betul memahami sistem demokrasi yang ideal dan hendak diwujudkan (Nasiwan, 24: 6). Menurut Sosolog Universitas Erlangga, Hotman M Siahaan kultur demokrasi bagi bangsa Indonesia belum terbangun sehingga pemerintah harus berani mengambil 2 trobosan melalui pendidikan demokrasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan maraknya aksi buruh atau protes mahasiswa yang berakhir dengan bentrokan fisik.

Diskursus demokrasi tidak muncul, pada hal semestinya demokrasi menciptakan konsensus dialog antara pemerintah dan rakyat. Namun wacana itu tidak muncul meskipun pemerintah telah berusaha mewujudkannya. Kondisi ini diperparah dengan berbagai kebijakan yang tidak memihak pada kepentingan rakyat seperti kenaikan harga bahan bakar minyak.. Pemerintah harus berani bersikap tegas dan cepat untuk menyelematkan krisis ekonomi serta membangun kebijakan yang komperhensif demi kepentingan pengembangan demokrasi di Indonesia

Kebijakan pemerintah tidak demokratis yang berorientasi pada kepentingan penguasa sudah tentu berdampak pada gejala terjadinya konflik, ketidak jujuran, rendahnya budaya malu, KKN, bahkan pada nasionalisme yang rendah. Kebijakan demokrasi harus memiliki nilai manfaat, keadilan dan kebebasan, kemakmuran bagi masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu rekayasa sosial dalam bentuk kebijakan dalam membentuk watak bangsa melalui pendidikan demokrasi.

Pendidikan Demokrasi Pendidikan demokrasi pada hakekatnya membimbing peserta didik agar semakin dewasa dalam berdemokrasi dengan cara mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi, agar perilakunya mencerminkan kehidupan yang demokratis. Dalam pendidikan demokrasi ada dua hal yang harus ditekankan, demokrasi sebagai konsep dan demokrasi sebagai praksis. Sebagai konsep berbicara mengenai arti, makna dan sikap perilaku yang tergolong demokratis, sedang sebagai praksis sesungguhnya demokrasi 3 sudah menjadi sistem. Sebagai suatu sistem kinerja demokrasi terikat suatu peraturan main tertentu, apabila dalam sistem itu ada orang yang tidak mentaati aturan main yang telah disepakati bersama, maka aktiviatas itu akan merusak demokrasi dan menjadi anti demokrasi (Sunarso, 2004: 3). Tugas seorang pendidik adalah mensosialisasikan dua tataran tersebut dalam konsep dan fraksisnya, sehingga peserta didik memahami dan ikut terlibat dalam kehidupan demokrasi.

Dalam mensosialisasikan nilai demokrasi perlu adanya komitment para elit politik, tokoh masyarakat, guru, stake holders pendidikan demokrasi, dan seluruh masyarakat. Sosialisasi Pendidikan demokrasi harus memperhatikan prinsip-prinsip antara lain:

 “Pendidikan demokrasi adalah suatu proses, pendekatan yang digunakan secara komperhensip, pendidikan ini hendaknya dilakukan secara kondusif baik di lingkungan sekolah, rumah dan masyarakat, semua partisan dan komunitas terlibat di dalamnya. Pelatihan pendidikan demokrasi perlu diadakan bagi kepala sekolah, guru-guru, murid-murid, orang tua murid, dan komunitas pemimpin yang merupakan esensial utama. Perlu perhatian terhadap latar belakang murid yang terlibat dalam proses kehidupan demokrasi. Perhatian demokrasi harus berlangsung cukup lama, dan pembelajaran demokrasi harus diintegrasikan dalam kurikulum secara praksis di sekolah dan masyarakat (Setyo Raharjo, 2002; 28).

 Pendidikan demokrasi harus direncanakan secara matang oleh stake holders baik para pakar demokrasi sebagai think-thank, kepala sekolah, guru-guru, orang tua murid, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Pendidikan demokrasi ini harus memperhatiak nilainilai secara holistik dan uiniversal. Keberhasilan pendidikan demokrasi dengan keluaran menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi personal dan kompetensi sosial yang demokratis dan dinamis sehingga menghasilkan warga negara yang baik

 Dengan adanya benih demokrasi yang sudah disemaikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat diharapkan setiap personal dapat mempraktikkan demokrasi dalam totalitas kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Modal demokrasi yang sudah ada dalam personal merupakan lahan yang subur bagi generasi penerus untuk mewujudkan kehidupan bersama dalam mewujudkan masyarakat sipil (civil society). Terlebih lagi dalam pembelajaran dan sosialisasi pendidikan demokrasi dapat dimanfaatkan konsep 5 learning to do, learning to be, learning to now, learning to live together.
 Apalagi apabila guru, orang tua murid, pemuka agama, pemuka masyarakat, elit politik, dan pejabat memiliki komitment yang tinggi untuk mewujudkan masyarakt yang demokratis dengan konsep “Ingarso sung tuladho, Ing madyo mangun karso, Ttut wuri handayani” .

 Konsep Masyarakat Spil (Civil Sosiety) Dalam Koridor Demokrasi
 Civil Society atau masyarakat sipil dalam bahasan ilmu sosial dimaknai sebagai konsep yang berkaitan dan dipertentangkan dengan “masyarakt politik” yang secara umum dipahami sebagai negara. Konsep ini pertama kali timbul di Erapa Barat pada jaman Enlightment. Konsep masyarakat sipil dapat dilacak pemikiran tokoh humaniora seperti Hobbes, Locke, Montesquie, Roousseau. Civil Society dipahami sebagai kawasan privat yang dipertentangkan dengan kawasan publik. Pemikiran ini mengubah wacana civil society sebagai diskurs pemikiran kristis terhadap kapitalisme.

Masyarakat sipil adalah masyarakat dimana hak dan kewajiban dihargai dan dijunjung tinggi, sehingga tercipta masyarakat yang damai, adil dan berbudaya dengan ciri-cirinya sebagai berikut:

     “1. Mengakui keanekaragaman budaya yang merupakan pengembangan identitas bangsa,
      2. Pentingnya saling pengertian antar sesama anggota masyarakat dan memiliki tolerasni yang     tinggi.
       3. Perlunya lembaga sosialisasi nilai-nilai demokrasi dan kepastian hukum (Istiqomah, 2003; 10). Prof. Dr. Udin SW menyatakan bahwa dalam demokrasi untuk mewujudkan masyarakat sipil berlaku adigium “Democracy is not inherrited but is learned” . Demorasi bukan hal yang diturunkan tetapi harus diajarkan. Oleh karena itu pendidikan demokrasi harus diajarkan kepada peserta didik. Perkembangan demokrasi disebuah negara dipengaruhi oleh:
“1.Tingkat perkembangan ekonomi,
 2. Kesadaran identitas nasional,
3. Pengalaman sejarah,
 4. Civic culture (Udin, SW., 2006: 2). Sedang menurut Denny dalam “Terancamnya Konsolidasi Demokrasi” ada tiga variabel utama dalam mewujudkan demokrasi:
 “1. Pertumbuhan ekonomi, jika ekonomi suatu negara tidak tumbuhan maka negara itu tidak akan mencapai demokrasi,
 2. Variabel kedua yang mempengaruhi konsolidasi demokrasi adalah kultur liberal; yaitu nilai-nilai egalitarian terlepas dari isu SARA dan jender,
3. Kesepakatan elit, yaitu tentang kesepakatan aturan main dalam kehidupan politik (Denny, 2006: 16).



    Negara demokrasi untuk mewujudkan masyarakat sipil perumusannya disesuaikan dengan tuntutan jaman. Oleh karena itu konsep rule of low (negara hukum) 7 yang direvisi ahli hukum internasional merumuskan pemerintah demokratis memiliki kriteria sebagai berikut:

“Perlindungan konstitusional, badan kehakiman yang bebas, pemilu yang bebas, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan beroposisi, pendidikan kewarganegaraan, sedang nilai-nilai demokrasi yang harus ada menurut Mayo; penyelesaian konflik secara damai dan melembaga, menjamin perubahan secara damai, penyelenggaraan pergantian pemimpin secara teratur, membatasi pemakaian kekerasan, mengaggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat dan menjamin tegaknya keadilan (Sunarso, 2004: 37).


 Nilai-nilai tersebut di atas harus disosialisasikan melalui pendidikan formal di sekolah dasar khususnya bagi generasi penerus, dan diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa, bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar